Dia sesosok pria usia senja.
Masih menyambut dunia dg senyum lembutnya.
Dia masih sekokoh baja.
Meski tak dipungkiri usia telah menggerogoti ketangkasannya.
Dia salah satu hal yg tak ingin aku kehilangannya.
Dia indah sebagaimana adanya.
Dia masih sepenyabar & sepenyayang biasanya.
Dia tak begitu bnyak bicara, namun ttur katanya sarat makna.
Dia spt kbnyakan kaum adam di luaran sana, enggan menitikkan air mata, jarang meluapkan emosinya, & tak sering bercerita ttg keras hidupnya.
Untuk ketiga buah hatinyalah dia teteskan air matanya, tepat tiga kali pula.
Tetesan pertama terjadi pada adegan kelulusan putra pertamanya menjadi abdi negara.
Kedua kalinya ketika dirinya menjadi wali pernikahan putri keduanya.
Dan yg ketiga, kabar diterimanya putri bungsunya di universitas sbg mahasiswa.
Sungguh ketiga-tiganya seakan meluapkan kegembiraannya, kekagumannya, kebanggaannya, yg diwakilkannya oleh setitik-titik air matanya, yg justru tak mampu dikatakan oleh kata-kata halusnya.
Dialah kepala keluarga, sekaligus kawan yang digabung dalam satu nyawa.
Dia ayah dari 3 bersaudara.
Dialah alasan mataku memandang hal-hal secara sedikit berbeda.
Dia jugalah alasan penerimaanku pada hal2 yg trkadang terasa tak adil di duniaku yg sederhana.
Dia ada, dan nyata sebagaimana realita.
Dia sekeras batu pada tempatnya, dan selembut sutra di kesempatan lainnya.
Dia dan seluruh cintanya, menjadi inspirasi tiada tara & tanpa tanda jasa.
Dia tak pernah menuntut, justru menurut.
Dia tak pernah melemahkan, namun slalu menguatkan.
Dia enggan mengeluh, meski peluh terkadang menghambat langkah tuanya.
Dia sungguh bermakna, meski tak terucap kata.
Dia dg pembawaannya yg penuh kharisma, sulit unt tdk menyayanginya, sukar unt tak menghormatinya, susah menolak kasih sayangnya yg melimpah.
Namun lagi, dia hanyalah manusia biasa. Tak lepas dr salah dan luka, dosa dan amarah, serta hal-hal manusiawi lainnya.
Satu yang pasti, dan akan selalu begitu bagaimanapun keadaannya adalah bahwa aku menyayanginya, sama halnya dengan dia yang menyayangiku sebagai anaknya.
Dialah salah satu dari dua orang yang menghadirkanku ke dunia.
Dia yang meski tak mengandungku 9 bulan lamanya, selalu mendapati kuatnya ikatan batinku padanya.
Dialah yg membuatku teduh dg suara adzannya.
Dia selalu dan selalu berpesan agar aku tak selemah wanita pada umumnya.
Agar aku tak semanja anak2 bungsu lainnya.
Agar aku mampu bertahan sekaligus melawan kerasnya terjangan gelombang masalah.
Agar aku tak memecahkan fokusku pada hal-hal yg sebenarnya bukanlah tanggung jawabku yg justru hanya akan mjd beban saja.
Agar aku menjadi diriku apa adanya, bukan yang ada apanya.
Agar aku tak memandang buku dari covernya, atau agar aku tak tergoda oleh kilau emas permata, atau agar aku tak melemah oleh bujuk rayu setan dan bala tentaranya.
Dia berdecak kagum hanya karna aku atau kakak-kakakku sesekali menjadi lebih bijaksana.
Dan ketika sesekali terjadi perbincangan tak mengenakkan telinga di sekitarnya tentang kami para anaknya, dia tak serta merta terbawa amarah.
Dia masih dan sepertinya akan selalu menjadi pihak ternetral setiap segala sesuatunya berjalan tidak pada tempatnya.
Dan untuk kesekian kalinya, aku bangga akan dirinya.
Bukan karena garis2 ketampanan masih setia mengukir di wajahnya.
Bukan juga karena kepiawaiannya bercerita.
Apalagi karena ketegasan wataknya.
Aku bangga karna dia adalah seseorang yang bisa kuklaim sbg ayah.
Aku bangga, karna aku adalah salah satu dari anaknya.
Daaaan,
selamat ulang tahun ayah, peluk cium hangat dari ananda.
2 februari 2015
Dia masih sekokoh baja.
Meski tak dipungkiri usia telah menggerogoti ketangkasannya.
Dia salah satu hal yg tak ingin aku kehilangannya.
Dia indah sebagaimana adanya.
Dia masih sepenyabar & sepenyayang biasanya.
Dia tak begitu bnyak bicara, namun ttur katanya sarat makna.
Dia spt kbnyakan kaum adam di luaran sana, enggan menitikkan air mata, jarang meluapkan emosinya, & tak sering bercerita ttg keras hidupnya.
Untuk ketiga buah hatinyalah dia teteskan air matanya, tepat tiga kali pula.
Tetesan pertama terjadi pada adegan kelulusan putra pertamanya menjadi abdi negara.
Kedua kalinya ketika dirinya menjadi wali pernikahan putri keduanya.
Dan yg ketiga, kabar diterimanya putri bungsunya di universitas sbg mahasiswa.
Sungguh ketiga-tiganya seakan meluapkan kegembiraannya, kekagumannya, kebanggaannya, yg diwakilkannya oleh setitik-titik air matanya, yg justru tak mampu dikatakan oleh kata-kata halusnya.
Dialah kepala keluarga, sekaligus kawan yang digabung dalam satu nyawa.
Dia ayah dari 3 bersaudara.
Dialah alasan mataku memandang hal-hal secara sedikit berbeda.
Dia jugalah alasan penerimaanku pada hal2 yg trkadang terasa tak adil di duniaku yg sederhana.
Dia ada, dan nyata sebagaimana realita.
Dia sekeras batu pada tempatnya, dan selembut sutra di kesempatan lainnya.
Dia dan seluruh cintanya, menjadi inspirasi tiada tara & tanpa tanda jasa.
Dia tak pernah menuntut, justru menurut.
Dia tak pernah melemahkan, namun slalu menguatkan.
Dia enggan mengeluh, meski peluh terkadang menghambat langkah tuanya.
Dia sungguh bermakna, meski tak terucap kata.
Dia dg pembawaannya yg penuh kharisma, sulit unt tdk menyayanginya, sukar unt tak menghormatinya, susah menolak kasih sayangnya yg melimpah.
Namun lagi, dia hanyalah manusia biasa. Tak lepas dr salah dan luka, dosa dan amarah, serta hal-hal manusiawi lainnya.
Satu yang pasti, dan akan selalu begitu bagaimanapun keadaannya adalah bahwa aku menyayanginya, sama halnya dengan dia yang menyayangiku sebagai anaknya.
Dialah salah satu dari dua orang yang menghadirkanku ke dunia.
Dia yang meski tak mengandungku 9 bulan lamanya, selalu mendapati kuatnya ikatan batinku padanya.
Dialah yg membuatku teduh dg suara adzannya.
Dia selalu dan selalu berpesan agar aku tak selemah wanita pada umumnya.
Agar aku tak semanja anak2 bungsu lainnya.
Agar aku mampu bertahan sekaligus melawan kerasnya terjangan gelombang masalah.
Agar aku tak memecahkan fokusku pada hal-hal yg sebenarnya bukanlah tanggung jawabku yg justru hanya akan mjd beban saja.
Agar aku menjadi diriku apa adanya, bukan yang ada apanya.
Agar aku tak memandang buku dari covernya, atau agar aku tak tergoda oleh kilau emas permata, atau agar aku tak melemah oleh bujuk rayu setan dan bala tentaranya.
Dia berdecak kagum hanya karna aku atau kakak-kakakku sesekali menjadi lebih bijaksana.
Dan ketika sesekali terjadi perbincangan tak mengenakkan telinga di sekitarnya tentang kami para anaknya, dia tak serta merta terbawa amarah.
Dia masih dan sepertinya akan selalu menjadi pihak ternetral setiap segala sesuatunya berjalan tidak pada tempatnya.
Dan untuk kesekian kalinya, aku bangga akan dirinya.
Bukan karena garis2 ketampanan masih setia mengukir di wajahnya.
Bukan juga karena kepiawaiannya bercerita.
Apalagi karena ketegasan wataknya.
Aku bangga karna dia adalah seseorang yang bisa kuklaim sbg ayah.
Aku bangga, karna aku adalah salah satu dari anaknya.
Daaaan,
selamat ulang tahun ayah, peluk cium hangat dari ananda.
2 februari 2015